PLTN: Irit Tapi Menyimpan Petaka

BOM WAKTU PLTN

Meski dinilai berbahaya, nuklir merupakan sumber energi ekonomis. Manfaat dan madlorotnya masih menjadi perdebatan.   

Kawasan Asia timur kini terancam bencana nuklir. Ini terjadi setelah reaktor nuklir di Fukusima, Jepang, meledak akibat gempa berkekuatan 8,9 dalam skala Ritcher yang disusul gelombang tsunami. Bencana tersebut  merupakan krisis terburuk sejak Perang Dunia II. Diperkirakan lebih dari 10 ribu orang tewas.

Pejabat Jepang mengkonfirmasi tiga reaktor nuklir di sebelah utara Tokyo berada pada risiko memanas (overheating) dan dikhawatirkan akan menimbulkan kebocoran radiasi. Para insinyur bekerja mati-matian untuk mendinginkan reaktor yang bermasalah. Sebab, jika mereka gagal, wadah dari inti reaktor bisa mencair atau bahkan meledak, sehingga melepaskan material radioaktif ke atmosfer.

Kini sebanyak 140 ribu penduduk dievakuasi dalam radius 20 kilometer dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Pemerintah Jepang masih fokus mengeluarkan udara dari reaktor nuklir yang rusak. Badan Keselamatan Nuklir Jepang memperkirakan sebanyak 160 penduduk di sekitar PLTN terpapar radiasi. “Tapi belum memiliki ancaman langsung terhadap kesehatan manusia,” kata Juru Bicara Pemerintah Jepang Edano dalam sebuah konfrensi pers.

Bocornya reaktor nuklir di Jepang juga mengancam negara tetangganya. Korea Selatan, di barat Jepang, melihat ada kemungkinan radiasi bertiup ke wilayahnya. “Sejauh ini kami tak melihat dampak (radiasi) seiring dengan angin mengarah ke barat. Namun, jika terjadi perubahan angin, hal itu bisa berdampak kepada kami. Dengan memonitor sistem kami, kami akan menyiapkan langkah-langkah mencegah apa pun kerusakan,” kata Lee Durk-hun, Kepala Analisis Operasional Keselamatan di Korean Institute of Nuclear Safety. Adapun menurut kantor berita Xinhua, para pejabat di provinsi timur laut Cina, Liaoning, juga mulai memantau untuk kemungkinan merebaknya radiasi dari Jepang.

Keadaan darurat nuklir di Jepang mengingatkan kita pada peristiwa meledaknya pembangkit listrik nuklir di Chernobyl, Ukraina (dulu masih wilayah Uni Soviet), pada 26 April 1986. Kecelakaan nuklir ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah. Berdasarkan data “Forum Chernobyl” yang dibentuk IAEA (Badan Atom Internasional), jumlah korban meninggal 56 orang. Perinciannya, 28 orang (para likuidator terdiri dari staf PLTN, tenaga konstruksi, dan pemadam kebakaran) meninggal pada tiga bulan pertama setelah kecelakaan, 19 orang meninggal 8 tahun kemudian, dan 9 anak lainnya meninggal karena kanker kelenjar gondok.

Bencana nuklir saat itu juga mengakibatkan 135 ribu orang yang berada dalam radius 30 km di sekitar reaktor terpaksa dievakuasi. Sedangkan sebanyak 24.403 orang dinyatakan terkena radiasi berat dan sebagian hingga kini belum diperkenankan untuk kembali. Selain itu, sekitar 7 juta orang yang saat itu tinggal di Belarusia, Ukraina, dan Rusia terkena kontaminasi zat radioaktif dan 100.000 di antaranya tinggal di daerah yang dikategorikan sebagai daerah strict control.

Hingga kini limbah nuklir merupakan salah satu hal yang menimbulkan kecemasan di masyarakat. Seperti limbah-limbah lainnya, limbah nuklir merupakan bahan yang sudah tidak dimanfaatkan lagi karena bersifat radioaktif dan mengandung potensi bahaya radiasi. Sumber-sumber limbah nuklir sendiri paling besar berasal dari PLTN, yaitu sekitar 90%. Sementara 10 persennya, berasal dari penggunaan radioaktif di rumah sakit untuk kepentingan diagnosa dan radiografi.

Unsur-unsur radioaktif dalam limbah nuklir mampu memancarkan radiasi. Maka limbah nuklir tidak bisa di buang begitu saja ke lingkungan. Karena radiasi yang dipancarkannya berpotensi memberikan efek merugikan terhadap kesehatan dan genetika manusia. Di antaranya kanker, kerusakan sel dan cacat permanen. Korban yang langsung terpapar radiasi terkena sindrom akut radiasi atau ARS. Biasanya bisa meninggal dalam waktu beberapa minggu setelah ledakan.

Bukan itu saja, salah satu material yang dihasilkan oleh PLTN, yaitu Plutonium. Plutonium memiliki hulu ledak sangat dahsyat dan merupakan salah satu bahan baku pembuatan senjata nuklir. Perlu diketahui, Kota Hiroshima hancur lebur hanya gara-gara 5 Kg Plutonium. Berarti semua negara yang memiliki PLTN berpotensi membuat senjata nuklir. Kini ada 31 negara di dunia yang mengkonsumsi nuklir dalam jumlah besar.

 

Energi Alernatif

PLTN

Energi nuklir mulai dikembangkan pada tahun 1940-an. Tujuan Amerika Serikat kala itu ingin memenangkan Perang Dunia II. Penggunaan energi nuklir didasarkan dari teori relativitas energi yang ditemuan Albert Einstein yang lantas dikembangkan Fisikawan Robert Oppenheimer sebagai pimpinan proyek pembuatan bom atom.

Sebelum mengebom Jepang, tanggal 16 Juli 1945, Amerika Serikat menguji bom atom di Trinity Site, negara bagian New Mexico. Tanggal 6 Agustus 1945 bom atom uranium dijatuhkan di Hiroshima dan bom atom plutonium di Nagasaki tiga hari kemudian. Kedua bom tersebut menewaskan lebih dari 120.000 orang seketika.

Pasca pengeboman, tepatnya pada dekade 50-an, barulah energi nuklir digunakan untuk tujuan damai, yakni sebagai pembangkit tenaga listrik.  Berbagai negara yang menguasi teknologi nuklir mulai memanfaatkannya secara besar-besaran. Pasalnya efisiensi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) cukup tinggi, terutama dengan bahan bakar sedikit dapat menghasilkan energi besar. Hingga sekarang, energi nuklir menyumbang 16 persen dari total kebutuhan energi listrik dunia yang hanya tersebar di 30 negara.

Energi nuklir merupakan hasil reaksi yang terjadi pada inti atom. Densitas energi nuklir sangat tinggi, lebih tinggi ketimbang energi yang dihasilkan batubara ataupun minyak bumi. Satu kilogram uranium mampu menghasilkan listrik sebesar 50.000 KWH. Bahkan bila diproses lebih lanjut dapat mencapai 3.500.000 KWH. Sedangkan satu kilogram batu bara atau minyak bumi cuma menghasilkan energi sebesar 3 KWH sampai 4 KWH saja.

Pada sebuah pembangkit listrik non nuklir berkapasitas 1000 MWe diperlukan bahan bakar 2.600.000 ton batu bara atau 2.000.000 ton minyak bumi. Sedangkan pada pembangkit listrik tenaga nuklir dengan kapasitas listrik yang sama hanya memerlukan 30 ton uranium dengan teras reaktor 10 Meter kubik.

Secara alami, reaksi inti atom (fisi) akan menyebabkan reaksi berantai tanpa terkendali dan menimbulkan energi yang sangat besar dalam waktu beberapa detik saja. Di PLTN, energi tersebut dirubah menjadi panas untuk memanaskan air dan selanjutnya menghasilkan uap air bertekanan tinggi. Uap air lantas dipakai menggerakan turbin pembangkit. Listrik yang dihasilkan kemudian diatur nilai arus, tegangan, frekuensinya lalu siap didistribusikan.

Beberapa waktu silam, Menteri Riset dan Teknologi Suharna Surapranata mengatakan Indonesia telah siap membangun reaktor nuklir sebagai pembangkit tenaga listrik. “Kita harus pahami sudah siap, secara teknologi kita sudah mampu,” ujarnya saat memberi kuliah umum di Aula Barat Institut Teknologi Bandung, Sabtu 12 Maret 2011.

Sebenarnya, Indonesia telah memiliki kemampuan teknologi nuklir sejak tahun 1950-an. Beberapa reaktor nuklir yang telah dibangun Badan Tenaga Atom Nasional, seperti di Bandung, Yogyakarta, dan Serpong digunakan untuk riset obat dan pangan. Dan dari sekian banyak sumber energi, telah diteliti bahwa nuklir nantinya akan mampu menyumbang listrik sebesar 10% dari jumlah permintaan listrik di Indonesia.

Meski tak memungkiri reaktor nuklir memang berbahaya jika dilanda gempa, keamanan reaktor tergantung teknologi yang akan dipakai nantinya. “Saat ini lebih penting mengetahui kapan Indonesia akan memulai membangun PLTN daripada berbicara teknologi reaktor nuklir yang akan dipakai. Sebab Malaysia, Vietnam, Singapura, sudah mengarah ke sana,” ujarnya. Indonesia seharusnya juga mengambil pilihan membuat PLTN.

Meski berisiko tinggi, nuklir termasuk energi yang berwawasan lingkungan. Dalam rangka pelestarian lingkungan, nuklir turut berperan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca yang mengakibatkan global warming. Emisi CO2 nuklir ke udara jauh lebih sedikit dari pada sumber energi lain. Untuk ketersediaan Uranium, sebagai bahan baku reaktor nuklir, lebih besar dibandingkan dengan sumber energi lain. Yaitu, umur tenaga nuklir dapat mencapai 3600 tahun, sedangkan bahan bakar minyak akan habis 42 tahun lagi.

Saat ini, selain kajian tapak lokasi di Jepara, Jawa Tengah, pemerintah juga mempelajari calon lokasi PLTN di Bangka Belitung dan Kalimantan Timur. Usulan lokasi tersebut telah diajukan kepala daerah masing-masing. Kebijakan dibangun tidaknya PLTN kini masih menunggu keputusan Dewan Energi Nasional. Rumusan Dewan itu selanjutnya akan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan mungkin selesai tahun ini. (Dari Berbagai Sumber)

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: