Pemimpin Sejati

Ada hal menarik ketika beberapa pewarta istana diwawancarai di salah satu televisi swasta nasional. Kebiasaan dan latar belakang pemimpin negeri ini ternyata memegang peranan paling besar dalam menentukan ritme kerja mereka, termasuk hal-hal biasa yang tampak ‘tak biasa’.

Masa kepimpinan Orde Baru, protokoler istana, sama sekali tak bisa diutak-atik. Istana, sakral dan ‘sangar’. Jangan harap Anda bisa ‘berkoar’ sebebas sekarang. Pers pun harus santun. Tak ada berita keluar dari istana sebelum lolos sensor. Oscar contohnya, mantan wartawan istana senior yang kala itu ikut dalam lawatan ke Mesir, pernah dipanggil gara-gara ia lah yang pertama kali ‘keceplosan’ mewartakan “Pak Harto Mau Lengser!”. Oscar bilang “rasanya seperti tak menapak tanah”, saking takutnya!

Tapi di balik itu, kata mereka -para pewarta istana-, era inilah yang paling siap ‘membekali’ para jurnalis istana ini dalam mendampingi Si Empunya kala ke luar istana, juga ke luar negeri. Termasuk transportasi dan akomodasi, bahkan hingga agenda kunjungan presiden.

Berlanjut di era Habibi. Sang professor yang terbiasa hidup di luar negeri ini, memiliki jam kerja paling panjang. Hingga hari nyaris gelap, jika koper (tas kerja Habibi) belum ditenteng keluar sampai hitungan koper ke delapan, ia belum kelar. Yang sedikit mencengangkan, ketika Tim Thomas dan Uber Cup berkunjung, sebagaimana tradisi kontingen Indonesia saat hendak berlaga, Habibi bertanya, “Tim Uber itu apa?” Meski begitu ia adalah sosok yang hangat, kebiasaan cupika-cupikinya mampu mencairkan suasana protokoler antar pejabat.

Di era Gus Dur, yang berlatar belakang pesantren, istana benar-benar jadi rumah rakyat. Jadi jangan heran, jika masih saja ada tamu berkunjung pakai sandal jepit –di luar jam kerja-.

Terkenal dengan argumennya yang tegas, bahkan bagi beberapa pihak membuat kuping panas,  tokoh pluralisme ini juga sukses membuat para pewarta istana nyaris tak memicingkan mata. Kapan saja, mereka harus siap membuat berita.

Jaman Megawati, lain lagi. Ia memiliki trah pemimpin sang ayah, sehingga tak asing dengan kehidupan istana. Jadi wajarlah jika kebebasan yang mulai terbuka di era Gus Dur, dibatasi. Istana kembali jadi rumah raja. Tapi Megawati juga memiliki sisi wanita. Ia butuh waktu mandi lebih lama, dibanding pemimpin pria lainnya.

Kini, era SBY sedang diguncang berita. Dewan Pembina partai terbesar negeri ini, harus berjibaku menindak tegas kasus korupsi, yang ditudingkan pada para elit partai pengusung jargon “anti korupsi”.

Tentu tak bijak bagi kita untuk menunjuk mana pemimpin yang paling baik, atau mencela sosok yang tampak tidak baik. Karena siapapun kita, tidak mungkin berhasil menyenangkan semua orang.
Mengutip kata Mario Teguh, akan selalu ada orang yang tidak puas, tidak setuju, dan bahkan tidak menyukai kita. Tapi tetaplah berfokus menjadi pribadi yang baik.

Bukankah masing-masing dari kita sejatinya adalah pemimpin? Jadi, mari tanyakan pada hati, sudahkah kita berhasil memimpin diri sendiri untuk menjadi lebih baik?

 

REDAKSI

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: