Tak Ada yang Abadi

Aku menghitung stok barang yang masih tersisa.

“Satu…, dua…, tiga…”

Ada tiga compact powder, lima buah lipstick, dua alas bedak, dua paket make up kit, satu botol cleansing milk. Cream anti aging dan scrub, ludes. Sementara mascara, pelembab dan spons anti jamur, belum berubah jumlahnya.

“Huuufhh…” Susahnya cari uang!

Meski begitu, aku bersyukur, lumayan banyak paket yang sudah kujual.

Ini lokasi kedua hari ini yang kami datangi. Bersama 10 orang dalam timku, kami dijadwalkan hunting wanita-wanita kelas atas yang punya ‘penyakit akut’. Takut tua! Maklumlah, produk kecantikan kami terkenal harganya mampu menguras kantong. Karena kandungan krimnya yang “katanya” (tentu kata pemilik perusahaan tempat kami bekerja), manjur mengusir keriput datang sebelum waktunya.

Memang, menjadi tua seolah momok bagi kaum hawa. Kulit makin kendor, garis mata turun, payudara tak berbentuk, gumpalan lemak berlipat-lipat. Dan merekalah sasaran empuknya.

Duuuh…ngerinya!” teriak Bu Sisca.

Wanita paruh baya ini memang tampak mencolok diantara ibu-ibu arisan yang lain. Blus kembang-kembang warna genjreng, pede bertengger membalut tubuhnya yang subur.

“Tante, sebelum itu terjadi, coba Tante pakai produk kami. Dijamin aman dan hasilnya tak kan mengecewakan. Tante-tante bakalan keliatan lebih muda. Kami berani kasih garansi satu bulan pemakaian. Tentu tanpa terkontaminasi dengan produk kecantikan lain ya…

Jika tidak ada hasil, uang kami kembalikan seratus persen!” kataku meyakinkan.

Waaah…, beneran nih? ” tanya Tante Maya yang tampaknya mulai tertarik.

Bener, Tante. Banyak yang sudah beli paket ini lho. Ibu Susi yang tinggal di kompleks sebelah juga pakai..”

Kalimatku yang terakhir ini rupanya kalimat sakti. Bu Susi, wanita itu memang jadi hot issue di kompleks Perumahan Permata Hijau, beberapa bulan terakhir. Selain masih kinclong di usianya yang menginjak 40 tahun, janda beranak satu itu juga jadi magnet kaum adam di sekitar kompleks elit ini.

“Aku ambil satu paket deh..” katanya. “Jeng Dewi, ambil juga nggak? Nanti kalah aura sama Jeng Susi lho…”

“Boleh deh… Tapi pakai uang Jeng Maya dulu ya? Aku gak bawa uang cash, nih. Nanti kutransfer.”

“Berees…!”

Heran, ibu-ibu ini bisa begitu ‘kalap’ dengan urusan penuaan. Begitu pentingnya awet muda hingga mereka rela merogoh kocek hingga berjuta-juta?

Atau jangan-jangan, ini cuma gara-gara Bu Susi yang kini jadi primadona? Mereka takut tersaingi. Padahal aku juga cuma asal ngomong. Boro-boro beli produk kecantikan dari kami, ketemu Bu Susi juga tak pernah. Bisa jadi ia operasi plastic, atau tambah botox. Tapi siapa peduli, yang penting jualanku laku, target terpenuhi. Dan yang jelas, bonus mengalir ke dompetku.

***

“Tita, seharusnya tidak begitu…” kata ibuku. Ia menyayangkan aku mencatut nama Bu Susi. Meskipun belum tentu juga wanita itu awet muda dengan cara alami. Karena kulihat, di kepala ibuku, warna putih sesekali tampak menyembul keluar. Kerutan di dahinya pun nampak makin jelas. Padahal, kutaksir usia ibuku dan Bu Susi tidak terpaut jauh. Toh ibu tak pernah berusaha menyembunyikannya.

Aku juga tak pernah bisa menyembunyikan apapun dari ibuku. Semua yang terjadi padaku dan apa yang kulakukan tiap hari, selalu jadi bahan obrolan yang menyenangkan buat kami. Maklumlah, semenjak ayah meninggal dua tahun lalu, kami memang hanya tinggal berdua. Sebenarnya masih ada ada Tito, adik laki-lakiku. Tapi ia meneruskan kuliah di Yogyakarta setahun belakangan. Otaknya cukup encer. Jadi ia bisa masuk tanpa tes, plus dapat beasiswa.

“Kenapa mereka begitu takut tua ya, Bu? Itu kan sama saja tidak jujur, membohongi diri mereka sendiri. Tapi ada untungnya juga sih. Kalau tidak begitu, mana mau mereka beli produk yang harganya selangit? Lagipula bohongnya kan cuman dikit? Yang penting barang yang aku jual aman, Bu..” kataku mencari pembenaran.

Ibu membelai rambutku. “Tita, semua pekerjaan itu harus dilakukan dengan jujur. Kalau Tita berbohong, meskipun kata Tita sedikit…” ibu tersenyum, berhenti sejenak, “itu sama saja tidak jujur. Lalu apa bedanya dengan mereka?”

Aku terdiam. Wah, bakal ada wejangan panjang lebar nih!

“Memangnya, ada kaitan takut tua dengan ketidakjujuran? Lagipula mungkin para wanita sudah kehabisan akal untuk menemukan resep melawan penuaan.”

Aku beringsut. Kepalaku mendongak, menunggu kalimat ibu selanjutnya. Aku ingin dengar. Ibu masih punya penjelasan tentang itu atau tidak.

“Intinya bukan pada penuaan itu, Tita. Tapi kemauan kita menerima ketuaan itu sebagai sesuatu yang alamiah dan pasti terjadi. Ini contohnya,” ibuku menunjuk rambutnya.

“Di usiamu sekarang, pastilah belum terlintas ketakutan itu. Tapi seiring bertambahnya waktu, ketakutan menjadi tua, jika tak disadari dengan benar, bisa berubah menjadi penolakan. Begitu besarnya nafsu perlawanan manusia, dari memerangi manusia lain yang berseberangan pikir hingga memerangi dirinya sendiri, berujung pada ketidakpuasan, kekecewaan, kemarahan, dan semakin bersikap antipati.”

Ibu menghela nafas.
“Jika dipikir-pikir, apa susahnya, sih, hidup selaras dengan alam?

Aku jadi ingat. Dari beberapa referensi yang kubaca, ternyata yang selama ini dijagokan sebagai produk anti aging yang paling ampuh malah kembali lagi pada sayur dan buah. Tentu sudah diperkuat dengan penelitian yang membuktikan adanya enzim, antioksidan dan mikronutrien. Intinya, merujuk pada jenis-jenis bahan pangan alam yang mampu mengembalikan fungsi normal tubuh manusia.

Meskipun sebenarnya bagi yang menjalani pola makan seimbang ini selama hidup mereka, sama sekali tak punya target apapun. Termasuk anti aging.

Sama seperti mereka yang cinta pada kehidupan yang sesungguhnya, tidak menggunakan istilah “anti”. “Kamu pernah dengar cerita tentang Ibu Theresa? Ibu Theresa tidak pernah menganjurkan kampanye anti-aborsi, tapi beliau mendorong setiap orang untuk menghargai kehidupan dari awal hingga akhir.”

Ya, aku mulai berpikir. Mencerna kata-kata ibu lebih dalam. Kesehatan itu investasi tak ternilai. Sama seperti keinginan untuk awet muda sepanjang usia. Semua melalui proses, tak bisa dipetik begitu saja. Sayangnya, prosesnya yang begitu panjang, sering menjadikan kita enggan.

Sayup aku masih mendengar ibuku masih bercerita,”Andai kita sadar, menjalani hidup sehat itu ibarat merajut selimut di musim kemarau dan berfungsi nanti di musim hujan. Juga seperti ibadah yang menjadi ritual rutin tapi berbuah berkah di masa mendatang. Tentu targetnya adalah Yang Di Atas. Itupun kita tak tahu apakah selimut tepat selesai di akhir musim kemarau atau ibadah kita mampu mengantar kita langsung ke surga. Yang paling penting adalah komitmen kita dari hari ke hari. Karena sesungguhnya pola kehidupan yang alamiah itu sudah punya aturannya sendiri. Ada saat lahir, tumbuh, menua dan mati. Tak ada yang abadi.”

. . . . . . . . . .

Entah, apalagi yang ibu ceritakan padaku. Mataku terlanjur digelayuti kantuk tak tertahan. Tapi rasanya aku melihat ibuku tersenyum. Ah, ia masih tampak cantik meski usianya bertambah tua.

Posted by on Jul 3rd, 2011 and filed under Cerpen. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response by filling following comment form or trackback to this entry from your site

Leave a Reply

Refresh Image
*