Bersih Itu Budaya

Ir. Heru Tjahjono, MM

Sebuah peristiwa menarik ter­jadi November silam. Ketika itu Heru Tjahjono baru saja meng­hadiri upacara peringatan Hari Pahlawan. Di tengah perjalanan pulang, tiba-tiba Bupati Tulungagung ini menda­dak menghentikan mobilnya.

Lalu Dihampirinya seorang petugas kebersihan yang nampak enggan me­nyapu trotoar. Lantas dimintanya sapu dari tangan si petugas. Dan tanpa sung­kan, Heru mencontohkan cara ‘me­mainkan’ piranti pembersih itu dengan benar meski bupati masih mengenakan jas (full dress). “Pak Bupati memang san­gat memperhatikan urusan kebersihan,” kata salah satu pegawai Pemerintah Ka­bupaten Tulungagung.

Pernyataan itu bukan tanpa bukti. Selama dua periode menempati po­sisi orang nomor satu di Tulungagung, enam kali berturut-turut piala Adipura (penghargaan kota terbersih) dipersem­bahkan. Adipura diserahkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoy­ono di Istana Negara.

Selain itu, tiga sekolah (SDN Kam­pung Dalem I, SMPN Boyolangu, SMKN 2 Boyolanggu) juga meraih Adiwiyata (sekolah berwawasan lingkungan). Penghargaan tersebut diterima dari Ke­menterian Lingkungan Hidup.

Tapi, bagi Heru, piala bukanlah suatu keistimewaan. Itulah sebabnya tidak ada tugu Adipura di kota Tulun­gagung. Dapat atau tidak Adipura, yang penting kotanya resik dan asri. Sehingga masyarakat bisa nyaman dan menik­matinya. Karena kebersihan merupakan salah satu bentuk pelayanan publik.

“Sebagai pelayan, maka petugas kebersihan tidak boleh marah ketika ada orang yang membuang sampah sembarangan. Su­dah menjadi tugas pemer­intah untuk membersih­kannya. Sebab masyarakat membayar retribusi sam­pah,” Bupati menjelaskan.

Meski demikian, Pemk­ab. Tulungagung tetap mena­namkan budaya bersih. Caranya dengan pembinaan di sekolah-sekolah. Pemkab. juga membentuk Rayoner­ing atau pembagian wilayah yang dikoordinir Muspida dan Muspika. Langkah ini di­lakukan untuk mencari par­tisipasi warga melalui Temu Karya dan Temu Karsa dalam menangani kebersihan.

Para pejabat pemerin­tahan turut pula memberi teladan. Bupati sendiri sering selalu turun mengecek ke­bersihan dan kerap ikut me­nyapu jalan. Harapannya, masyarakat akan sungkan kalau membuang sampah sembarangan.

Upaya tersebut terbukti manjur. Indikasinya, anak-anak mulai tertib membuang bungkus permen atau jajan ke tempat sampah. Tukang becak pun tak melempar puntung rokok sembaran­gan. Dan jumlah sampah yang terserak di jalan kian sedikit. Rata-rata volume sampah hanya 4 ton per hari.

Dimanfaatkan

Sampah warga kota Tulungagung ditampung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Segawe. Bernilai 30 milyar rupiah, TPA segawe sudah menggunakan sistem sanitary landfil atau teknolo­gi pengelolaan sampah ra­mah lingkungan. Perlu dike­tahui, baru segelintir daerah di Indonesia yang memakai sistem ini karena pembua­tannya mahal.

Timbunan sampah di TPA telah dimanfaatkan untuk biogas. Bahan bakar yang terbuat dari gas metan ini dialirkan melalui pipa untuk menggerakan mesin pembangkit. Karena baru berkekuatan 5000 watt, lis­trik baru dipakai untuk men­erangi kawasan TPA.

Selain biogas, sampah juga dibuat kompos. Pupuk ini berasal dari sisa bahan-bahan organik. Sayang, pu­puk organik belum bisa dijual bebas. Masalahnya, Pemkab. masih terkendala pemasa­ran. “Biaya pembuatannya mahal sedangkan harga jual­nya rendah. Jadi sementara ini masih kita gunakan untuk memupuk taman kota,” kata Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH), Dody Nurtja­hyo.

Sebenarnya, pengelo­laan sampah sudah mulai diupayakan di tingkat kelura­han. Oleh karena itu Pemk­ab. Tulungagung membantu membangun fasilitasnya. Lagi-lagi pengelolaannya be­lum maksimal. Artinya, kom­pos yang dihasilkan kualitas­nya kurang bagus.

Namun pemanfaatan sampah dari hulu ini dilaku­kan agar TPA bisa berumur panjang. Andai seluruh sam­pah dikirim ke TPA tentu diperlukan lahan yang luas. “Perilaku memisahkan sam­pah organik dan non organik juga terus digalakkan,” ujar Suyanto, Sekretaris BLH.

Unik

Sederet kenyataan yang terhampar membuk­ tikan keasrian kota Tulungagung. Pemandangan hijau langsung terli­hat ketika memasuki Kota Marmer. Selain bersih, rerimbunan pohon meneduhkan hampir tiap jengkal ruas jalan.

Daya tarik sesungguhnya, jus­tru terletak pada jantung kota. Tak seperti kota lain, yang cuma berupa tanah lapang, alon-alon disulap menjadi taman rekreasi. Saban hari pengunjung memadati lokasi terse­but. Keramaian bertambah bila hari libur tiba.

Di sini pohon-pohon menju­lang, bunga beraneka warna. Ratu­san merpati, puluhan tupai, perku­tut Beijing serta aneka satwa bebas berkeliaran. Di pojok Utara, terse­dia pula fasilitas outbond. Kolam dan taman bunga makin membuat elok kawasan ini. “Kalau nongkrong di sini rasanya pikiran jadi fresh,” kata Suwardi yang datang bersama keluarganya.

Ada lagi yang lebih unik, pen­dopo Kongas Arum Kusumaning Bangsa (rumah dinas Bupati Tulun­gagung) ditetapkan sebagai ruang terbuka hijau. Tempat ini lebih mi­rip kebun binatang. Di dalamnya, ada merak, kasuari, beo dan rusa. Berbagai binatang langka, kata Bu­pati, sebagian merupakan sumban­gan masyarakat.

Satwa-satwa ini dihadirkan agar suasana pendopo tidak terasa hambar. Sebab sejak dibuka untuk umum, banyak orang yang berseli­weran di sini. Selain menikmati pemandangan, mereka bisa pula menyalurkan aspirasinya kepada Bupati. “Intinya pak Bupati ingin mendekatkan diri dengan masyara­kat,” kata Maryani, Kepala Bagian Humas Pemkab. Tulungagung. oki

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: