Modernisasi Alutsista Harga Mati

Senyum Purnomo Yusgiantoro mengembang tatkala Adi Kusnadi dan Oki Imron Habibi, wartawan majalah LIFESTYLE masuk ke ruangannya. Dengan ramah Menteri Pertahanan Republik Indonesia menyapa dalam bahasa jawa: “Piye, arep takon opo? Tak jawab? (Ada apa, mau tanya apa. Saya jawab).” Meski sibuk Pak Pur, sapaan karibnya, berkenan berwawancara khusus.
Sore itu, raut muka lelaki kelahiran Semarang, 61 tahun silam ini terlihat cerah. Badannya pun nampak bugar. Apa rahasianya? “Olah raga. Saya sering golf dengan bapak Presiden (Susilo Bambang Yudoyono),” katanya.”Tadi malam saya juga olah raga sejam dan bisa membakar sekitar 500 kalori.”
Selalu menjaga kebugaran penting bagi Purnomo. Sebab tugasnya sangat berat: terkait masalah pertahanan negara. Apalagi suhu Asia Tenggara sedang menghangat akhir-akhir ini. Penyebabnya, persoalan sengketa wilayah Laut Cina Selatan antara Cina dan beberapa negara ASEAN. Keadaan bertambah panas tatkala Amerika mulai menambah militernya di kawasan ini. Tujuannya, untuk membendung Negeri Tirai Bambu yang kian digdaya. Berikut petikan wawancaranya.

Amerika dan Cina sedang berebut pengaruh di kawasan Asia Pasifik. Bagaimana posisi Indonesia?
Secara Bilateral, Indonesia berhubungan baik dengan Cina dan Amerika. Hal ini dibuktikan dengan kerjasama pertahanan yang telah dibangun. Dengan Cina, kita sering mengadakan joint exercise (latihan gabungan) atau patroli bersama di daerah perbatasan. Menteri Pertahanan Cina berkunjung ke Indonesia, begitu pula sebaliknya. Sedangkan hubungan Indonesia dengan Amerika juga kembali berjalan baik. Bahkan ketika menteri pertahanan berpindah dari Robert Gate kepada Leon Panetta, negara pertama yang dikunjungi Panetta adalah Indonesia, baru kemudian sekutunya, yaitu Korea Selatan dan Jepang. Artinya Amerika menaruh hormat kepada Indonesia selaku negara Asia Tenggara terbesar. Jadi Indonesia punya posisi strategis di mata Amerika dan Cina.

Belakangan hubungan Amerika dan Cina tengah memanas. Apakah nanti kita tidak akan terseret di dalamnya?
Saya rasa tidak. Dengan hubungan baik dengan Cina dan Amerika, Indonesia justru bisa jadi jembatan yang menghubungkan kepentingan kedua negara tersebut. Misalnya masalah laut Cina Selatan. Terjadi sengketa batas wilayah antara Cina dan beberapa negara ASEAN, terutama Filipina. Kita tahu Filipina merupakan sekutu terdekat Amerika. Nah, tahun lalu, sebagai ketua ASEAN, Indonesia mengambil peran mengusahakan Laut Cina Selatan menjadi kawasan yang damai, bebas navigasi dan steril. Hal itu saya katakan kepada Jenderal Liang Guanglie (Menteri Pertahanan Cina) dan beliau sependapat. Saya juga mengatakan bahwa itu pendapat ASEAN. Dan pendapat itu diperkuat oleh Kamboja, ketua ASEAN sekarang.

Itu kan persoalan multilateral. Lalu bagaimana persoalan sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia sendiri?
Yang namanya tetangga pasti ada masalah. Tapi dalam ASEAN Charter telah disepakati bahwa penyelesaian setiap persoalan akan dilaksanakan dengan semangat ASEAN. Semangat ASEAN itu apa? Kita tidak menggunakan hard power (perang), tapi yang kita gunakan soft power atau diplomasi. Dan persolan perbatasan tidak hanya dengan Malaysia saja tapi juga dengan beberapa negara lain, misalnya Timor Leste, Singapura, Filipina. Bahkan ketika terjadi sengketa wilayah dengan Vietnam, kita menyelesaikannya hampir sepuluh tahun. Vietnam punya cara pandang yang berbeda, kita pun sama. Tapi akhirnya masalah tersebut selesai dan perundingan akhirnya ditandatangani. Waktu itu saya masih menjabat Menteri ESDM.
Dengan Malaysia kita punya sejarah konflik dan masih terjadi gesekan hingga sekarang. Apalagi kini Indonesia sedang meningkatkan kekuatan di perbatasan Indonesia – Malaysia di Kalimantan.
Sebetulnya peningkatan kekuatan tidak lantas diartikan bahwa kita akan menyerang atau melakukan ekspansi wilayah. Kita ambil contoh Cina, Singapura, Vietnam, Malaysia, Indonesia juga. Ekonomi mereka bagus, wajar bila mereka juga membangun kekuatan. Sebab ekonomi dan pertahanan ibarat dua sisi mata uang yang mustahil dipisahkan. Kalau membangun kekuatan dan melupakan ekonomi, maka yang terjadi seperti Orde Lama. Kita kuat tapi ekonomi kita morat-marit. Begitu pula sebaliknya. Membangun ekonomi saja, tapi melupakan kekuatan akibatnya fatal. Kita bisa diserang kemudian dijajah negara lain. Jadi harus ada keseimbangan. Sekarang ekonomi Indonesia bagus. Jadi harus diimbangi dengan pembangunan kekuatan pertahanan. Ini akan membangun confidence (kepercayaan diri) dan menimbulkan deterent effect (efek gentar) bagi negara lain yang hendak macam-macam dengan kita. Intinya, pembangunan kekuatan hanya untuk mempertahankan diri dari ancaman. Baik dari dalam maupun dari luar.

Berapa besar kekuatan yang harus kita miliki untuk mempertahankan wilayah Indonesia yang luas ini?
Kita ada perencanaan yang disusun berdasarkan ancaman. Maksudnya, dilihat dulu ancamannya, dari situ kekuatan yang didahulukan apa. Untuk itu kita punya Minimum Essential Force (MEF) atau pembangunan kekuatan minimal untuk menanggulangi ancaman. Rencana strategi tersebut akan dilaksakan dalam 15 tahun. Tahap pertama 2010 – 2015, kedua 2016 – 2020 dan tahap yang ketiga 2020 – 2024.
Sebagai gambaran dalam rangka mewujudkan Minimum Essential Force (MEF), diharapkan pada Tahun 2024 kekuatan Alutsista TNI Angkatan Darat Tank (Ranpur) yang dimiliki sudah mencapai 855 Unit, dan panser sebanyak 467 Unit, pesawat udara 20 Unit dan helikopter sebanyak 148 Unit. Selain itu TNI Angkatan Laut diharapkan juga sudah mencapai sasaran MEF yang antara lain terdiri dari 151 KRI dan 333 Ranpur. Sedangkan TNI Angkatan Udara telah mengoperasikan Pesawat Tempur sebanyak 114 Unit dan Helikopter sebanyak 62 Unit. Pesawat pendukung lain mudah-mudahan meningkat pula jumlahnya.

Jumlah itu baru minimal?
Kita harus menyadari keuangan negara. Selain itu, sekali lagi saya tandaskan, pembangunan kekuatan hanya berdasarkan ancaman. Atau untuk mempertahankan negara saja. Kita tidak sedang membangun kekuatan untuk menyerang negara lain.

Kalau dilihat ancaman yang paling besar dari dalam atau luar?
Saya kira banyak ancaman yang datang dari dalam, yakni berupa ancaman non militer. Aktornya pun oknum, bukan negara. Misalnya teroris. Orangnya bisa dari dalam yang dibiayai luar. Dan semua potensi ancaman sudah tercatat dalam buku pintar kita. Karena dasar membuat perencanaan pertahanan itu adalah ancaman. Jadi kita petakan bentuk ancaman, berapa besar dananya dan alutsista apa yang dibutuhkan.

Untuk pembangunan pertahanan, dari ketiga matra TNI (AU, AD, AL) mana yang diutamakan?
Semuanya. Angkatan Laut dan Angkatan Udara dimodernisasi, sedangkan darat kita mantapkan. Dari matra Udara, kita sedang menunggu berbagai jenis pesawat fighter. Misalnya Sukhoi, F 16 hibah dari Amerika, Super Tucano, Jet T 50, juga pesawat tempur masa depan KFX/IFX yang kita buat bersama Korea Selatan. Kapal perang canggih pun akan kita miliki. Antara lain Multi Role Light Frigatte buatan Inggris, Perusak Kawal Rudal buatan Belanda, serta penambahan kapal selam dari Korea Selatan. Di matra darat kita beli MBT (tank tempur utama) Leopard II, Peluncur Rudal (MLRS) dan banyak lagi.

Beberapa pengadaan alutsista tersebut masih terganjal di DPR?
Saya kira tidak. Pembelian sudah dalam proses. Dan DPR menyetujui.
Kabarnya kapal Multi Role Light Frigatte buatan Inggris masih menuai masalah. Sebab Brunei menolak membeli karena spesifikasi yang diinginkan.
Tidak cocok bagi negara lain belum tentu tidak cocok juga bagi negara kita. Kita sudah meneliti dan ternyata kapal ini sesuai dengan kebutuhan TNI. DPR pun mendukung.

Anda berlatar belakang akademisi bidang energi. Bisa diceritakan mengapa dipilih jadi Menteri Pertahanan?
Kalau itu tanya presiden saja. Tapi saya akan membuat ilustrasi. Pertama, Menteri adalah jabatan politis dan merupakan hak prerogatif presiden. Kedua, di negara lain menteri pertahanan banyak berasal dari sipil. Misalnya, Menteri Pertahanan Malaysia sebelumnya adalah Menteri Agama. Menteri Pertahanan Singapura itu Dokter. Menteri Pertahanan Australia periode lalu dulunya guru SMA. Menteri Pertahanan itu tidak harus orang yang berlatar belakang pertahanan atau militer. Ketiga, saya masuk Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional) tahun 1992. Setelah lulus, saya ngajar di sana dan menjabat Wakil Gubernur Lemhanas. Jadi kalau sekarang saya menjabat Menteri Pertahanan, saya tidak kaget.
Apakah waktu kecil anda bercita-cita jadi menteri?
Cita-cita itu tidak terfikir oleh saya. Sekolah ya sekolah saja. Dari SD, SMP, SMA, lalu kuliah teknik dan ekonomi, master teknik dan ekonomi, dan doktor ekonomi, kemudin Lemhanas. Dari keilmuan teknik ke ekonomi kemudian politik. Jadi, kata orang saya ini menteri politisi yang bukan dari partai politik. Ha…ha…ha…

Sebagai akademisi, adakah keinginan kembali ke kampus setelah pensiun?
Sampai sekarang saya masih tercatat sebagai guru besar ITB (Institut Teknologi Bandung). Sewaktu jadi Menteri ESDM pun saya juga mengajar di Universitas Atmajaya dan beberapa universitas lain yang dekat rumah (Jakarta). Tapi karena sekarang sangat sibuk, saya cuma mengajar di Pascasarjana UI dan ITB. Kemarin saya baru saja menguji desertasi di sana. Nanti setelah merampung tugas menteri umur saya masih 63 tahun. Guru besar kan pensiunnya 70 tahun. Jadi saya masih punya kesempatan menularkan pengalaman, baik sebagai pengajar, menteri, maupun di Lemhanas, kepada generasi muda. Yang penting setelah pensiun jangan sampai nganggur. Nanti otak akan beku.

Apa filosofi hidup anda?
Prinsip atau filosofi hidup saya: jadilah yang terbaik. Di Lemhanas saya terbaik, jadi sering mendapat bintang kehormatan. Di ITB pun saya lulusan terbaik. Saya juga selalu melakukan yang terbaik dalam menjalankan tugas.

Apa yang membuat anda terbaik?
Saya katakan saya itu pemain catur. Pemain catur itu harus bisa berfikir tiga sampai empat langkah ke depan. Kita harus tahu apa yang kita lakukan. Dan setelah kita lakukan, kita harus tahu apa implikasi terhadap apa yang kita lakukan. Dengan begitu kita bisa melihat alternatif-alternatif apa yang harus kita lakukan.
Saya bisa main catur umur 10 tahun  yang mengajari kakek. Beliau pensiunan Geminte atau pegawai Kota Madya Semarang yang mengurusi sungai. Setelah pensiun beliau jadi tukang cukur di bawah pohon, di Jalan Citarum, Semarang. Kalau tidak ada pelanggan beliau ngajari saya catur. Setelah masuk ITB saya menjadi pemain catur nasional. Angkatan saya, Herman Suradiredja dan Benny Kileng (keduanya adalah grand master nasional). Waktu itu saya dihadapkan pada dua pilihan: sekolah atau melanjutkan main catur. Akhirnya saya memilih sekolah dan jarang main catur lagi. Tapi filosofi catur tetap saya pegang. Jadi jika kamu melangkah siapkan alternatif-alternatif yang terbaik. Harus ada kombinasi-kombinasi dalam melangkah. Kita harus berfikir lebih maju dari orang lain.

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: