Makan Malam Terakhir Oleh : Daryat Arya

Hujan mengguyur rumah Laura. Tak ada yang berani keluar, kecuali katak gembung yang bersahutan untuk bernyanyi. Jendela kaca mulai mengembun. Ia pun segera memutar lagu. Begitu dingin. Sangat. Laura lantas mengambil jaket, segera ia balut tubuhnya dengan kain tebal, tidak lupa ia juga mengenakan kaus kaki tebal. Musik hanya sumbang. Apa yang terjadi dengan hari ini, bisik Laura dalam hatinya. Apakah nasib memang harus ditunggu. Menunggu kepastian di dunia ini seperti mendayung ke samudera. Suara air yang jatuh begitu gemuruh. Sangat deras menghujam bumi lalu pecah terburai. Tak ada yang mau keluar dengan cuaca yang seperti ini. Suara musik beradu dengan hujan yang menghantam atap. Semakin lama mengalun semakin tak terasa waktu. Sudah cukup lama Laura menanti hujan reda. Apakah bidadari kecilnya kedinginan. Dengan siapakah ia sekarang? Tengah hari bagai senja yang menyibak malam. Tak ada burung yang bisa terbang dengan cuaca seperti ini. Mereka pasti akan berteduh. Langit tak kuasa menahan beratnya air.
Ia pun jatuh.
Ada yang menyatakan puisi-puisi dalam pesan singkat ketika hujan mengguyur. Tanpa ada jeda puisi-puisi itu terus menyerbu benda kotak berlayar kecil. Cinta itu hanya sebatas angin dengan air. Laura pun menangis. Pesan singkat masuk. Ia mengira itu adalah puisi yang selalu ia terima ketika hujan turun sangat deras. Aku bersama Angel, bisik pesan singkat itu. Apakah Romi sudah lupa ini hari apa, sehingga ia hanya bersenang-senang; dengan bidadari kecilnya.
Telepon genggam Laura berteriak. Ia tersentak kaget. Di layar terlihat *R.O.M.I memanggil, Laura segera mengangkatnya.
“Halo, Ma…”
“Halo, Angel..”
“Ma, Papa datang. Angel mau jalan-jalan sama papa.”
“Lho, habis pulang sekolah kok tidak ketemu sama mama dulu.”
“Iya Ma, kata Papa, tidak apa-apa. Mama mau pesen apa?”
“Tidak Angel.”
“Ya udah, Ma.”
“Hati-hati ya, jangan nakal lho…”
“Iya, Ma.”
Setelah Angel menelepon, hanya ada kata yang bicara.
Perempuan melingkar
Menghadap lampu
Bercumbu dengan huruf
11/11/2011
13:13:13
Laki-laki menatap tembok
Merintih bercumbu dengan lampu
11/11/2011
13:31:33
Begitulah puisi-puisi akhirnya mengalir juga. Ia datang tak pernah melihat siapa yang akan membuatnya. Pertama, kedua, dan seterusnya. Ia menyerbu batin Laura. Ia memecah luka. Menatap asa lantas hening begitu saja.
Sambil merebahkan tubuhnya Laura membuka buku catatan hariannya. Sudah ia tulis sepuluh tahun yang lalu. Hari ini adalah ulang tahun pernikahan Laura. Hari ini juga Angel bertemu lagi dengan ayahnya. Semua terasa begitu cepat. Tak terasa bahkan dalam bayangan Laura, Romi adalah lelaki yang baru ia kenal kemarin. Tak terasa sepuluh tahun sudah berlalu.
Dokter sudah mengingatkan Laura tentang keadaan jantungnya. Ada yang tak biasa dengan jantung Laura. Katupnya bermasalah. Ia tidak boleh tertekan dan terkena suhu yang dingin. Apalagi kecapaian.
“Angel, kapan kau pulang,” kata Laura dihadapan cermin. Hampir malam, Angel belum juga pulang. Romi juga tidak menelponnya. Rumah ini bagai sangkar burung. Ada makanan. Ada minuman. Semua ada. Tapi aku tidak bisa bebas. Hidupku hanya sebatas mama. Hari ini aku harus bahagia.
Laura lantas mencari nomor telepon Adam. Laura akan bertemu dengan Adam lagi. Orang yang ditinggalkan, tak pernah sakit hati. Hanya kebahagiaan yang selalu diberikan olehnya.
Laura hanya ingin makan malam. Sudah habis waktu berlalu untuk menunggu. Laura pergi dari rumahnya, ia bosan menunggu. Dengan memakai mobil kodok ia segera menembus hujan dan menyekat petir dengan lagu-lagu kenangan. Ia hanya menulis pesan untuk suaminya di atas meja makan. “Titip Angel. Jaga ia dengan baik. Aku pergi. Kamu jangan lupa untuk makan. Kamu ingat hari ini hari apa? Kalau mau menyusulku silahkan.”
Petir masih saja bersahutan. Angel tak peduli dengan cuaca. Ayahnya pun sibuk dengan sekretarisnya. Pekerjaan membuat Romi tak pernah bertemu dengan Laura. Hari ini adalah hari ulang tahun Angel yang ke-5. Romi pulang dari Singapura untuk menjemput Angel. Membawanya ke taman hiburan dan bermain sepuasnya.
**
Apa yang kita makan adalah masa depan kita. Siapakah yang ada dalam pikirmu saat ini. Bukan suamimu? Adam sudah tidak melihat cincin kawin di jari manis Laura. Apakah ia sudah bercerai? Lantas buat apa sekarang ia memintaku untuk menemani makan malam. ‘Ketika aku harus menyelesaikan kuliahku, kau datang memintaku saat hujan dan petir menyambar,’ bisik hati Adam.
“Kamu masih ingat dengan meja ini?”
“Iya, tempat dimana aku mengungkapkan perasaanku.”
“Aku heran denganmu. Kau begitu lantang di hadapan polisi, tetapi lembut sekali di hadapanku.”
“Ah, jangan begitu.”
“Kamu masih ingat, saat di kejar-kejar polisi dan datang ke tempat kostku.”
“Masih.”
“Kenapa kau berlari saat itu?”
“Kalau tidak lari aku jadi bulan-bulanan polisi. Kamu tahu kan mereka menganggap kalau mahasiswa adalah biang kerusuhan.”
“Kenapa harus ke kostku?”
Aku tak mengerti dengan dosa. Apakah ia akan datang kepadaku? kepada orang yang terluka. Aku berlari menuju pintu keluar. Semua orang memandang. Aku tak peduli. Aku ingin keluar. Bagaimana yang telah kau lakukan? Tentang manusia yang pernah bercerita tentang rembulan yang ada diwajahmu. Bagaimana apakah kau suka dengan cerita itu? Ada kabar yang tak pernah aku tahu. Tentang semua yang hadir dalam mimpi. Mimpiku tak pernah berhenti. Apakah aku harus menghentikan apa yang telah aku rencanakan. Aku hanya ingin memetik angin dan memeluk malam; tak lebih.
Aku kaget ketika mendapati Adam yang tak sadarkan diri di depan pintu. Kaget bercampur bingung kuangkat ke sofa dan membersihkan sisa muntahan yang ada di mulut. Aku membasuh mukanya agar sadar, ternyata tidak sadarkan juga.
Matahari telah pasang dan embun pagi telah lama mengering. Musim kemarau ini telah berlangsung hampir tiga bulan. Pohon randu  meranggas tinggal ranting-ranting dan buah randunya yang berwarna hitam karena disinari matahari setiap hari.
Dalam batin, Romi sudah lama dan banyak terlewati tapi belum terpenuhi. Kata-kata yang banyak dikeluarkan dari bibirnya yang kering adalah beban hidup yang harus dia tanggung seorang diri.
Laura terus memandang langit. Ia hanya menunggu Tuhan memanggilnya kapan. Sementara, Angel terus mencari Laura dengan Romi. “Mama…Mama…hu…hu… Mamaaaaa.”
“Maafkan mama Angel, kamu tak boleh tahu akan penyakitku. Biar kamu terus beranggapan bahwa suatu saat nanti mama akan pulang.”
Ambulans membawa Laura ke rumah sakit. Laura sudah tidak sadarkan diri. Tangannya dingin menggenggam tanganku. Tidak ada denyut nadi. Romi datang bersama Angel setelah mendapat telepon. Romi kelihatan sangat sedih dan terpukul. Uangnya tidak bisa mengganti nyawa Laura. Angel terus membangunkan Laura. Ia menangis.
“Ma, bangun. Angel ingin tidur bersama Mama.”
Yang ada di ruangan itu hanya saling berpandangan. Romi beradu pandang dengan tubuh Laura. Lantas ia meraih Angel. Kini hanya terasa dingin. Romi gemetar mengambil air, tak terasa tubuhnya mencair, menyatu dengan air yang setiap dini hari menyapu wajah untuk bersujud. Tinggal kita berdua. Apakah kita juga akan pergi? Siapa yang tak ada, aku atau…[]

www.simplesharebuttons.comBerbagi dengan teman ...Facebook0Google+0Twitter0tumblrPinterest0LinkedIn0

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: