Bila Istri Lebih Dominan

Dalam rumah tangga, suami-istri memiliki kedudukan seimbang. Artinya masing-masing memiliki porsi dalam menjalankan kewajiban dan menerima hak yang setara. Tapi bagaimana bila istri yang lebih dominan? Jika ditinjau secara tradisional, dengan kondisi sosial di Indonesia, laki-laki berperan sebagai pemimpin dalam keluarga. Konsekuensinya, laki-laki harus terampil mengarahkan tingkah laku anggota keluarga, memimpin dalam proses pengambilan keputusan dan menjadi pengetok palu mengenai keputusan mana yang akan diambil.
Belum diketahui secara jelas, apakah perempuan yang dibesarkan dalam keluarga matriarkhi akan tumbuh menjadi isteri atau perempuan yang punya kebutuhan dominasi tinggi. Apakah anak perempuan yang dibesarkan oleh ibu yang dominan akan tumbuh menjadi perempuan yang dominan. Atau sebaliknya menjadi submisif atau bahkan tidak berinisiatif karena semua hal sudah diatur, ditentukan dan ditangani ibunya.

Penyebab Istri Dominan
Seorang isteri dapat berperan dominan dalam keluarga karena berbagai hal. Misalnya, suami sering bertugas ke luar kota, sehingga isteri seringkali harus mengambil keputusan sendiri. Suami tidak peduli pada aspirasi anggota keluarga, sehingga isteri akhirnya memutuskan sesuatu yang dapat ditanggulanginya sendiri.
Atau istri menganggap suaminya lemah karena terbiasa dimanja sehingga amat bergantung pada orang lain. Bahkan bisa juga karena pembawaan istri yang memang berwatak dominan, keras, dan mau menang sendiri, dan terus ‘diamini’ sang suami karena tak mampu mengimbangi.
Dalam rangka mendukung karier suami, ada isteri yang harus berperan dominan, memimpin organisasi. Nah, ada yang kebablasan, jadi merasa jauh lebih tahu dari pada suami, ikut me-ngatur pekerjaan dan anak buah suami dan lain-lain. Isteri-isteri di Indonesia sebenarnya berperan amat menentukan dalam keluarga, karena dialah manajer rumah tangga, yang mengatur penghasilan suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Seorang istri sah-sah saja mendominasi di sebuah keluarga. Karena setiap orang memiliki kebutuhan, termasuk kebutuhan untuk menjadi dominan dalam kadar yang sesuai agar dapat hidup sehat secara psikologis. Selama tidak berlebihan, tidak menekan atau merugikan anggota keluarga dan tidak berdampak negatif yang merugikan diri sendiri dan ke-luarga, tentu boleh boleh saja.

Efek dominasi
Dominasi salah satu unsur keluarga dapat berakibat pengabaian unsur keluarga yang lain apabila tidak disertai dengan sikap yang bijaksana. Seorang isteri yang bersemangat menentukan segalanya, mengatur semua sendiri akan membuat suami menjadi tergantung dan anak-anak tidak tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Yang tak disadari, sikap ini akan berdampak terhadap perkembangan anak. Mereka akan tumbuh menjadi seorang yang tak bisa mandiri. Tidak dapat lepas dari sang ibu yang selalu membantunya dalam segala hal.
Dampak yang lain, anak akan lebih mengidolakan sang ibu yang dianggapnya serba bisa dan cenderung meremehkan sang ayah. Akibatnya, wibawa ayah tak lagi berarti di mata anak. Keadaan ini biasanya akan terbawa dalam pola perkawinan si anak kelak, karena melihat contoh pernikahan kedua orangtuanya. Sayangnya banyak yang masih percaya pada kriteria ibu atau isteri yang baik adalah yang melayani segala keperluan suami dan anaknya. Kalau suami tidak keberatan, ini tidak jadi masalah.

Hindari Penekanan
Bagaimana jika dominasi tersebut bersifat menekan, hanya mementingkan diri sendiri, tidak ada usaha untuk empati atau memperhatikan kebutuhan orang lain? Suami yang berkeyakinan harus dominan di dalam keluarga, tentu saja keberatan. Akibatnya akan terjadi adu kekuatan, ingin saling menguasai yang pada hakekatnya bukanlah situasi yang diharapkan muncul dalam rumahtangga. Pada umunya, isterilah yang lebih banyak melakukan penyesuaian diri.
Misalnya harus belajar bergaul dengan teman-teman suami, sedangkan suami tidak; harus tahu kegemaran suami, sedangkan suami belum tentu harus mengalah; harus patuh pada suami dll.
Dalam situasi keluarga yang istrinya dominan, sang suami yang berkepribadian kuat akan membicarakan dengan isteri apabila ada hal-hal yang tidak berkenan terjadi dalam keluarganya, tidak akan memfokuskan diri pada isu kekuasaan, dominasi atau pun penghargaan.
Ada lho, suami yang memang suka diatur isteri karena dengan demikian dia tidak perlu repot lagi, segala sesuatu sudah dibereskan atau diatur isteri, dia tinggal menikmati hidup saja.
Kalau ada konflik dalam ke-luarga, tanda-tandanya bisa amat bervariasi. Biasanya suami menjadi depresi, atau karena tidak terpenuhi kebutuhan dominasinya di dalam keluarga, lalu mencari kompensasinya di luar. Misalnya menjadi amat dominan dalam pergaulan dengan teman, organisasi atau pekerjaan, menjadi amat ingin dihargai atau berkuasa di lingkungan lain.
Yang sebenarnya mutlak dilakukan adalah introspeksi dan tinjau ulang tujuan berkeluarga. Apakah memang sejak awal keluarga itu dibentuk untuk memenuhi kebutuhan dominasi, atau ada pengaruh sosial budaya maupun ajaran agama yang kemudian mengubah isteri atau suami mendadak menjadi ingin dominan, haus kekuasaan, ingin diistimewakan, ingin menentukan segala sesuatu atau dihormati berlebihan dalam keluarga. Tanda – tandanya adalah kalau salah satu anggota keluarga sudah mulai resah atas sikap dominasi tersebut.

Memberi kesempatan
Istri yang mengadopsi nilai-nilai maskulin dengan menjalankan tugas dan hak yang ‘semestinya’ dimiliki laki-laki, kadang juga bukan merupakan sebuah kesengajaan untuk menunjukkan keinginan mereka menjadi seseorang yang independen. Jadi, perlu ada komunikasi untuk membangun kesetaraan.
Untuk istri, cobalah berikan kesempatan pada suami untuk mengambil keputusan. Ajaklah suami berbicara. Dukunglah untuk mulai berpikir bijaksana, sehingga rasa percaya diri dan harga diri suami mulai tumbuh. Ini penting untuk perkembangan selanjutnya.
Bagi suami, ajaklah istri berkomunikasi. Bisa jadi, istri tidak menyadari ‘kelebihannya‘. Jangan merasa malu atau gengsi karena bila tidak segera diatasi, akan semakin berlarut-larut dan sangat merugikan wibawa atau harga diri suami. Ambil alih secara perlahan-lahan apa yang seharusnya dilakukan, apalagi yang menyangkut kebijakan keluarga. Tetap hargai apa yang telah diperbuat istri. Namun, berikanlah pengertian padanya bahwa suami mempunyai    tanggung jawab yang lebih besar. Tentu saja ini harus diimbangi dengan kemampuan dan pola pikir yang bijaksana. ***
(Sumber : Lentera Jiwa RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang)

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: