Loss of Potency PTPN IX Capai 20%

PenyeroFotobotan lahan dan pencurian hasil perkebunan milik PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) IX Jawa Tengah masih kerap terjadi. Diperkirakan, saat ini sekitar 20% lahan milik PTPN IX tidak produktif karena adanya gangguan keamanan. Kasus pencurian hasil produksi juga masih tinggi. Kondisi ini sangat dise-salkan Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Perkebunan PTPN IX (Persero) Divisi Tanaman Tahunan (FSP BUN IX TT) Budiyono SH MH. “Ada 22.000 orang karyawan PTPN IX di Divisi Tanaman Tahunan, belum termasuk karyawan lepas. Keluarga kami menggantungkan hidup dari PTPN IX. Makanya kami tidak rela, kalau ada kelompok masyarakat yang selalu mencoba mengganggu kelancaran produksi atau pencurian hasil produksi,” tegasnya ketika ditemui LIFESTYLE di ruang kerjanya di Semarang belum lama ini.
Sekedar untuk diketahui, PTPN IX memiliki 2 (dua) divisi usaha. Pertama, Divisi Tanaman Tahunan yang membudidayakan dan menghasilkan produk-produk tanaman karet, kopi, kakao, dan teh. Dan divisi kedua adalah Tanaman Semusim yang menghasilkan produk-produk dari tanaman tebu (Pabrik Gula). Masing-masing divisi memiliki serikat pekerja sendiri.
Divisi Tanaman Tahunan memiliki 15 lokasi perkebunan yang tersebar di berbagai kabupaten/kota di Jateng. “Saya berbicara tentang fakta divisi tanaman tahunan. Mengenai divisi tanaman semusim, no comment,” ujar alumni Magister Ilmu Hukum Undip Semarang ini.
Pria kelahiran Ungaran tahun 1970 yang memulai karir sebagai Satpam ini mengaku, dengan alasan reformasi agraria, banyak kelompok masyarakat mencaplok tanah milik PTPN IX.
Caranya, diawali dengan me-lakukan gangguan keamanan agar lahan tidak bisa digarap PTPN sehingga lahan menjadi terlantar. Dengan berlindung di balik PP Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, mereka akhirnya melakukan penyerobotan  lahan. Karena di dalam Pasal 8 PP 11 tahun 2010 disebut, apabila lahan tidak digarap dalam jangka waktu 3 bulan, lahan itu sudah masuk kategori tanah terlantar.
“Padahal bukan kita yang menelantarkan. Lahan tidak digarap karena gangguan keamanan dari pihak masyarakat. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kasus Mesuji, Lampung yang menelan korban jiwa, maka pengolahan lahan dibiarkan. Tapi tanpa kepastian pengamanan, akan dianggap terlantar,” kata ayah dari 2 putra ini.
PENCURIAN
Hal lain yang juga disesalkan adalah tingginya angka pencurian hasil perkebunan. Seperti pencurian karet di Banyumas. Dia tidak membantah, pencurian terjadi  akibat adanya kerjasama pihak luar dengan orang dalam.
“Memang ada saja penyadap nakal. Misalnya hasil sadapan 40 kg, tapi 10 kg sengaja ditum-pahkan di tanah. Nanti diluar jam kerja, getah tumpahan itu diambil dan disetorkan ke penadah.”
Kalau sudah begini, Serikat Pekerja tidak akan membela.  Bahkan mendorong pihak manajemen bersikap tegas, termasuk memecat karyawan yang terbukti berkianat terhadap perusahaan.
“Memang ada yang agak aneh. Disuatu daerah ada pabrik pe-ngolahan karet, tapi tidak punya kebun karet. Menurut UU itu seharusnya tidak bisa. tapi nya-tanya ada. Kondisi ini sangat berpotensi mendorong masyarakat melakukan pencurian. Apalagi ada pengepul nakal yang langsung memberi kredit hp atau sepeda motor kepada anggota masyarakat dengan cara membayar pakai getah karet,” kata Ketua tim advokasi Gabungan Perusahaan Perkebunan (GPP) Jateng-DIY.
Aparat kepolisian juga ‘agak kesulitan’ menangkap mereka. Alasannya di sekitar perkebunan, ada juga masyarakat yang memiliki kebun karet. Sehingga bila di tengah jalan ditemukan seseorang membawa getah karet, sulit dijebak sebagai pencuri kecuali benar-benar tertangkap tangan.
BENTUK SATGAS
Melihat realitas demikian, sebagai bentuk kepedulian terhadap tempat kerja, FSP BUN IX TT membentuk Satuan Tugas (Satgas) dimana Ketua Umumnya adalah Budiyono SH MH sendiri. Pengurusnya ditetapkan 13 orang dari tiap-tiap Perkebunan dan anggotanya seluruh karyawan.
Satgas murni bentukan pekerja dengan komando di tangan Ketua Umum. Sehingga ADM perkebunan pun tidak boleh memerintah.
Tujuan dibentuknya Satgas adalah mengamankan ke dalam maupun keluar. Maksudnya, ketika pekerja mau berunjuk rasa ke dalam, Satgaslah yang mengendalikan demo karena mereka bisa mengenali anggotanya agar tidak disusupi pihak lain.
Demikian juga kalau ada tamu Negara, misalnya Gubernur datang ke salah satu perkebunan, dengan sukarela Satgas ikut mengamankan. Satgas juga dilatih dalam  hal     penanggula-
ngan bencana alam. Baik di tingkat perkebunan, daerah, maupun nasional.
Tetapi ketika ada yang semena-mena mencaplok lahan perkebunan, ya kami merasa terpanggil untuk mengamankan lahan tersebut. Contoh, di Jepara. Disana kan sesuai kontrak sudah berakhir. Tapi masyarakat masih ingin   menguasai. Kalau Satpam yang datang, itu kalah jumlah dan bisa dianggap arogan karena sudah atas nama manajemen. Tapi karena Satgas, itu artinya karyawan yang datang sehiingga berbagai pihak bisa memahami. Inilah lading kami.
Untuk menghindari kontak fisik dengan masyarakat, Satgas hanya membuat pagar betis de-ngan personil sekitar 200 orang. Kami tidak membawa alat pengamanan apapun.
Memang seperti di Boja, karena aparat kepolisian kuatir ada kontak fisik, Satgas mengurungkan niat turun. Tapi akhirnya sampai sekarang posisinya terkatung-katung. Kan merugikan pekerja dan pemerintah. Karena PTPN membayar deviden kapada pemerintah sebagai pemilik perusahaan.
Sekitar 20% dari total luas lahan 33.000 ha masih diganggu pihak tertentu. Potensi pendapatan yang hilang (Loss of Potency) juga diperkirakan mencapai 20%-25%.
“Semua karyawan sudah kerja keras. Tapi hasil tidak maksimal karena dicuri orang. Inilah dasar pemikiran bagi kami untuk berge-rak,” kata pelatih silat Tapak Suci ini. Oki/Rosi

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: