Senja Di Taman Virgin

Andhini, jangan kau tumpahkan air mata lagi…
Sis menikmati kursi goyangnya. Kacamatanya yang kusam tak pernah membuatnya letih untuk membaca.   Matanya memandang jauh. Ia melihat canda sepasang kupu-kupu di atas taman. Ada yang mengatakan air mata tak akan jatuh lagi.
Ketika air mata terasa hangat mengalir di pipi maka kau akan menikmati kesedihan itu, namun jika kau tak pernah mengeluarkan air mata maka kau akan tersiksa seumur hidupmu.
Hidup begitu sederhana, menjadi rumit ketika perasaan masuk didalamnya. Bagaimana tidak, kadang ada orang yang dibunuh oleh perasaannya sendiri.
Sabtu  menjadi hari yang menyenangkan buat Sis, karena tidak ada yang dikerjakan. Kepenatan mengajar mahasiswa membuatnya selalu berharap pensiun. Apalagi sekarang banyak mahasiswa yang tak mau membaca.
Apa yang bisa dilakukan jika hidup sudah terjalin. Sis menikmati suasana hari Sabtu dengan secangkir cokelat panas. Secangkir kehangatan yang tak terkira. Dan secangkir kehangatan didapatkan dari perempuan yang berambut ikal dengan alis Turki-nya yang tebal.
Aku tak bisa ingkar jika sudah berada dihadapnya. Secangkir cokelat itu masih kurasakan sampai tumbuh uban dan Andhini kecil menggodaku.
“Yang, lagi apah?”, suaranya yang lembut membuatku kaget.
“Eh kamu, An. Jangan ganggu Eyang.”
Andhini ngeloyor  mengambil bonekanya. Lalu ia sibuk bermain kembali. Ia seperti peri kecil yang tak bersayap. Ketika sedang membaca koran ia selalu ingin tahu apa yang aku baca. Aku tahu bagaimana ia dulu berjuang untuk hidup. Hidup memang harus ada yang berkorban. Jika ingin hidup maka berkorbanlah, walau akhirnya kematian menjelang. Sejak bayi, Andhini ditinggal ibunya dan sudah lama ayahnya pun pergi entah kemana. Ada perasaan haru yang luar biasa. Namun aku tak bisa lari dari kenyataan. Aku harus melawannya. Hidup itu harus melawan. Bukan begitu?
“Bibi mana?” tanyaku
“Tuuh..,” sambil menunjuk. Yang ditunjuk tersenyum.
“Bi, nanti kalau ada mahasiswi yang datang langsung disuruh masuk saja.”
Sis mendengar Lola Majeure lagu dari negari mode dan sesekali menoleh ke arah Andhini.
Sayup-sayup terdengar suara itu lagi. Andhini menangis.
“Bi….Bibi……..”
“Iya,” tergopoh-gopoh.
“AWndhini kenapa?” Belum selesai Sis bertanya, Bibi sudah berlari menggendong Andhini. Mukanya merah. Matanya sembab. “Hhuuu..uu…huuuuuu”
Aku langsung menepuk-nepuk tanganku dan bernyanyi. Biasanya ia langsung diam. Entah kenapa ia sekarang sering menangis.
“Mbah Ti….Mbah Ti… mana Mbah Ti?”
Sis hanya terdiam. Tak sanggup dia untuk mengatakan hal itu lagi. Sudah berulangkali dia berbohong kepada Andhini.
Bibi terus menghiburnya. Ia malah semakin menjadi.
Ting…Tong… bel berbunyi
“Permisi…”
Bibi menuju pintu depan dengan menggendong Andhini.
“Pak Sis ada Bu?”
“Oh ya ada, langsung masuk saja. Sudah ditunggu sepertinya.”
“Adik kecil kenapa kok menangis?”
Andhini bersembunyi di ketiak bibi.
Sisca membawa tas berisi bahan tugas akhirnya. Sebenarnya bukan hanya untuk bimbingan untuk tugas akhir, tapi untuk berdiskusi. Mahasiswi itu kemudian menuju ruang tengah. Ada perasaan heran dan penuh tanda tanya. Siapa anak kecil yang menangis itu.
Andhini tiba-tiba saja seperti melihat seseorang yang dicarinya. Sejak saat itu rumah Sis sering dikunjungi para mahasiswa. Sis pun tak pernah berharap pensiun.[]
Semarang, Maret 2013

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: